Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PEKALONGAN
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2021/PN Pkl 1.MUHAMMAD ABDUL AFIF bin H. ABDUL MAJID
2.KUROHMAN bin CAHYONO
Kepala Kepolisian Resor Pekalongan Kota Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 31 Agu. 2021
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2021/PN Pkl
Tanggal Surat Selasa, 31 Agu. 2021
Nomor Surat 1/Pid.Pra/2021/PN Pkl
Pemohon
NoNama
1MUHAMMAD ABDUL AFIF bin H. ABDUL MAJID
2KUROHMAN bin CAHYONO
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Resor Pekalongan Kota
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Berikut merupakan penjabaran lengkap atau penjelasan atas dalil-dalil permohonan Pra Peradilan PARA PEMOHON :

  1. KEDUDUKAN DAN DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
  1. Bahwa Perlu kita pahami secara bersama melalui persidangan yang mulia ini mengenai lahirnya lembaga Prapreadilan adalah karena terinspirasi oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaaan. Hebeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut agar tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya tidak melaksanakan hukum pidana formil tersebut benar-benar sah sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seseorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak asasi manusia;
  2. Bahwa keberadaan Lembaga Praperadilan, sebagaimana diatur dalam Bab X Bagian Kesatu dan Bab XII Bagian Kesatu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), secara expressis verbis dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (terutama Penyelidik/Penyidik maupun Penuntut Umum), sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan secara sewenang-wenang dengan maksud/tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk in casu PARA PEMOHON. Menurut Luhut M. Pangaribuan, lembaga Praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP identik dengan lembaga pre-trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas Corpus, yang mana pada dasarnya menjelaskan bahwa di dalam masyarakat yang beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang;
  3. Bahwa tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law.  Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan;
  4. Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan undang-undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan menyangkut sah tidaknya penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan;
  5. Bahwa tujuan Praperadilan seperti yang tersirat dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari Praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap Tersangka, benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP atau perundang-undangan lainnya;
  6. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

 

  1. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
  2.  

Menyatakan :

Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :

  • [dst]
  • [dst]
  • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
  • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
  1. Bahwa Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan;
  2. Bahwa pasal 2 ayat (1) Peraturan mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 tahun 2016 tentang larangan peninjauan kembali putusan praperadilan juga menyatakan bahwa (1) Obyek Praperadilan adalah :

a.  sah atau tidaknya penangkapan,  penahanan,  penghentian penyidikan atau                         penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan, penggeledahan;

b. ganti  kerugian  dan  atau  rehabilitasi  bagi  seseorang yang perkara                                     pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

  1. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
    1. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011;
    2. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012;
    3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012;
    4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015;
    5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015;
  2. Bahwa apabila kita meilhat pendapat S. Tanusubroto yang menyatakan bahwa keberadaan lembaga Praperadilan sebenarnya memeberikan peringatan:
    1. Agar penegak hukum hati-hati dalam melakukan tindakan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang;
    2. Ganti rugi dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga negara yang diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan penegak hukum yang tidak mengindahkan prinsip hak-hak asasi manusia;
    3. Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah dalam memenuhi dan melaksanakan putusan hukum itu;
    4. Kejujuran yang menjiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi dan aparat penegak hukum, karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka.
  3. Bahwa penetapan status seseorang sebagai Tersangka in casu PARA PEMOHON, yang tidak dilakukan berdasarkan hukum/tidak sah, jelas menimbulkan hak hukum bagi seseorang untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi dan/atau pengujian terhadap keabsahan melalui Lembaga Praperadilan. Upaya penggunaan hak yang demikian itu selain sesuai dengan spirit atau ruh/jiwa KUHAP, juga sesuai dan dijamin dalam ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD Negara RI 1945 yang mengamanatkan :

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

 

Pasal 28I ayat (1) UUD RI Tahun 1945, kutipannya antara lain menegaskan:

  1.  

Secara filosofi bahwa Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT), oleh Pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat dirinya yang bersifat universal dan langgem, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun (vide konsideran menimbang huruf a dan b UU UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Hak memperoleh keadilan yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara Republik Indonesia ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 7 dan Pasal 8 TAP MPR No. XVII Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan

                        hukum yang adil.” (Pasal 7)

“Setiap orang berhak mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama

dihadapan hukum.” (Pasal 8)

 

Ketentuan a quo, dijabarkan lebih lanjut di dalam Pasal 17 UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), yang berbunyi :

“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”. 

 

Sehingga dengan demikian, secara jelas dan tegas UUD Negara RI 1945 mengatur perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara. Terlebih lagi, Republik Indonesia telah meratifikasi International Covenant On Civil and Political Right (“ICCPR”) melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Right (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). ICCPR yang telah diratifikasi oleh Indonesia, merupakan salah satu instrumen Internasional utama yang berisi mengenai pengukuhan pokok-pokok Hak Asasi Manusia. Dalam ketentuan yang telah diratifikasi tersebut, negara telah berjanji untuk memberikan jaminan guna melakukan pemulihan terhadap seseorang yang hak-haknya telah dilanggar dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas institusi negara/penegak hukum. Adapun ketentuan dimaksud adalah sebagai berikut :

 

Pasal 2 angka 3 huruf a dan b (mengenai janji negara untuk menjamin           pemulihan hak yang dilanggar) :

Terjemahannya “Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji : a) Menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya diakui dalam        Kovenan ini  dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif,            walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak             dalam kapasitas resmi; b) Menjamin bahwa setiap orang yang menuntut       upaya pemulihan tersebut harus ditentukan hak-hak-nya itu oleh lembaga             peradilan, administratif, atau legislatif yang berwenang, atau oleh lembaga       berwenang lainnya yang diatur oleh sistem Negara tersebut, dan untuk        mengembangkan segala kemungkinan upaya penyelesaian peradilan;”

 

Dengan demikian, mengacu kepada ruh atau asas fundamental KUHAP (perlindungan hak asasi manusia) jo. ketentuan Pasal 17 UU HAM jo. Pasal 2 angka 3 huruf a dan b ICCPR yang telah diratifikasi melalui UU No 12 tahun 2005, maka pengujian atas keabsahan penggunaan wewenang Aparatur Negara dalam melaksanakan KUHAP melalui lembaga Praperadilan telah secara sah mengalami perluasan sistematis (de systematische interpretatie) termasuk meliputi penggunaan wewenang Penyidik yang bersifat mengurangi atau membatasi hak seseorang seperti diantaranya menetapkan seseorang sebagai tersangka secara tidak sah dan tidak berdasarkan hukum, sehingga tidak hanya terbatas pada pengujian wewenang yang ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP;

  1. Bahwa penetapan status seseorang sebagai Tersangka in casu PARA PEMOHON, yang tidak dilakukan berdasarkan hukum/tidak sah, jelas menimbulkan hak hukum bagi seseorang untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi dan/atau pengujian terhadap keabsahan melalui Lembaga Praperadilan
  2. Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, maka sangatlah beralasan dan cukup alasan hukumnya dalam hal Praperadilan yang dimohonkan PARA PEMOHON ini diajukan kehadapan hakim, sebab yang dimohonkan oleh PARA PEMOHON untuk diuji oleh pengadilan adalah berubahnya status PARA PEMOHON yang menjadi Tersangka dan akan berpotensi menghilangnya kebebasan PARA PEMOHON, dilangggarnya hak asasi PARA PEMOHON akibat tindakan tidak sesuai prosedur penyelidik/penyidik yang salah dan menyimpang dari ketentuan hukum acara pidana dalam hal ini KUHAP, oleh karenanya Permohonan PARA PEMOHON untuk menguji keabsahan penetapan PARA PEMOHON sebagai Tersangka oleh TERMOHON melalui Praperadilan adalah sah menurut hukum.
  1. KEWAJIBAN HUKUM UNTUK MENDAHULUKAN PRA PERADILAN
  1. Bahwa meskipun dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyatakan bahwa  apabila perkara praperadilan belum selesai diperiksa, praperadilan harus diputuskan gugur apabila perkara pokoknya sudah mulai diperiksa, akan tetapi implementasi pasal tersebut menjadi berbeda setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan lembaga praperadilan berwenang mengadili penetapan tersangka, dimana penetapan tersangka merupakan induk dari segala upaya paksa yang berujung pada pemeriksaan pokok perkara oleh pengadilan;
  2. Bahwa Mahkamah Konstitusi kemudian mengatur tentang kapan permohonan Praperadilan gugur dalam Putusan No. 102/PUU-XIII/2015 tanggal 9 November 2016, yang amarnya berbunyi sebagai berikut:

“2.) Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan”.

Berdasarkan diktum itu, permohonan praperadilan PARA PEMOHON hanya dapat dinyatakan gugur apabila pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama PARA PEMOHON;

  1. Bahwa sejak adanya ke-2 (dua) putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, khususnya harus dimaknai dan dibaca bahwa merupakan kewajiban dan kewenangan lembaga praperadilan untuk terlebih dahulu menguji keabsahan penetapan seseorang menjadi tersangka, karena penetapan tersangka yang dilakukan secara sah yang dapat diadili. Dengan kata lain, ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP harus dibaca bahwa perkara tidak boleh diperiksa oleh pengadilan ketika ada permohonan praperadilan yang sedang diperiksa dan belum diputus;
  2. Bahwa pemaknaan pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang demikian ini berdasarkan alasan yuridis:

- Bahwa sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, kewenangan lembaga praperadilan berdasarkan KUHAP hanya mengadili terkait sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, sah atau tidaknya SP3 atau SKPP yang diikuti oleh ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Praperadilan tersebut tidak menghambat lembaga pengadilan atau majelis hakim untuk memeriksa pokok perkara guna mengadili substansi pokok perkara, karena substansi praperadilan terbatas pada sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau SKPP;

- Sedangkan sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, yang menyatakan bahwa penetapan tersangka merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menilainya. Ini bermakna bahwa pengadilan tidak boleh memeriksa pokok perkara untuk mengadili dan memutuskan Terdakwa bersalah atau tidak bersalah, terbukti secara sah dan meyakinkan atau tidak terbukti, sebelum adanya putusan lembaga praperadilan yang mengadili sah atau tidaknya penetapan tersangka;

- Bahwa dalam permohonan PARA PEMOHON ini, yang dimohonkan untuk diuji adalah keabsahan penetapan PARA PEMOHON sebagai tersangka.

  1. Bahwa dengan demikian, maka menjadi kewajiban pengadilan untuk mendahulukan memutus permohonan praperadilan yang diajukan oleh PARA PEMOHON sebelum dilakukannya pemeriksaan pokok perkara oleh lembaga pengadilan yang mengadili pokok perkara;
  2. Bahwa oleh karena adanya kewajiban hukum pengadilan untuk mendahulukan memutus permohonan praperadilan, maka pada hakekatnya pada saat yang sama timbul suatu larangan bagi pengadilan untuk memeriksa perkara yang dilimpahkan oleh penuntut umum berkenaan dengan perkara yang sedang diuji oleh praperadilan. Pada saat yang sama timbul suatu larangan bagi TERMOHON untuk melimpahkan berkas perkara dari penyidikan ke penuntutan bahkan ke pengadilan untuk mengadili pokok perkara dan karenanya TERMOHON harus menghormati lembaga praperadilan yang diajukan oleh PARA PEMOHON di Pengadilan Negeri Pekalongan.

 

  1. OBJEK PRAPRADILAN YANG DIMOHONKAN OLEH PARA PEMOHON
  1. Bahwa PARA PEMOHON mengajukan Permohonan Praperadilan ini atas penetapan tersangka yang dilakukan oleh TERMOHONhal tersebut dapat diketahui berdasarkan :
    1. Surat Panggilan Pemeriksaan Sebagai Tersangka atas nama Muhammad Abdul Afif Bin H. Abdul Majid Nomor Sp.Gil/99/VII/2021/RESKRIM, tertanggal 13 Juli 2021
    2. Surat Panggilan Pemeriksaan Sebagai Tersangka atas nama Kurohman Bin Cahyono Nomor : Sp.Gil/100/VII/2021/RESKRIM, tertanggal 13 Juli 2021
    3. Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan yang dikirimkan oleh Polres Pekalongan Kota kepada Kejaksaan Negeri Kabupaten Pekalongan Nomor : B/SPDP/44/VII/2021/Reskrim, tertanggal 8 Juli 2021
    4. Surat Panggilan Pemeriksaan Sebagai Tersangka atas nama Muhammad Abdul Afif Bin H. Abdul Majid Nomor : Sp.Gil/107/VIII/2021/RESKRIM, tertanggal 9 Agustus 2021.
    5. Surat Panggilan Pemeriksaan Sebagai Tersangka atas nama Kurohman Bin Cahyono Nomor : Sp.Gil/108/VIII/2021/RESKRIM, tertanggal 9 Agustus 2021.

Karena diduga telah melakukan tindak pidana secara bersama-sama dimuka umum melakukan kekerasan terhadap orang atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

  1. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
  2.  

Menyatakan :

Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :

  • [dst]
  • [dst]
  • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
  • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
  1. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 menyebutkan Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan;
  2. Bahwa penetapan tersangka merupakan obyek  Pra Peradilan diperkuat Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 tahun 2016 tentang larangan peninjauan kembali putusan praperadilan  pada pasal 2 ayat (1)  yang berbunyi:

Pasal 2

(1) Obyek Praperadilan adalah :

a.  sah atau tidaknya penangkapan,  penahanan,  penghentian penyidikan atau                         penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan, penggeledahan;

b. ganti  kerugian  dan  atau  rehabilitasi  bagi  seseorang yang perkara                                     pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

  1. Jadi tindakan TERMOHON yang melakukan penetapan tersangka terhadap PARA PEMOHON adalah merupakan obyek pra peradilan.

 

  1. PENETAPAN TERSANGKA OLEH TERMOHON ADALAH TIDAK SAH DAN BATAL DEMI HUKUM KARENA DIDASARKAN PADA PROSES YANG MELANGGAR HUKUM.
    1. PARA PEMOHON TIDAK DIPERIKSA SEBAGAI SAKSI OLEH TERMOHON DALAM TINGKAT PENYIDIKAN, SEHINGGA TERMOHON TERBUKTI TELAH MELANGGAR HUKUM;
  1. Bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah mengatur tata cara peradilan terutama hak dan kewajiban TERMOHON dalam penyidikan tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 1 angka 2 dan 5 yang berbunyi:

Pasal 1

Yang dimaksud dalam Undang-Undang ini dengan :

2. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak.

  1. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
  1. Bahwa TERMOHON karena kewajibannya mempunyai wewenang memanggil PARA PEMOHON sebagai saksi untuk didengar keterangan sebagai saksi sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada pasal 7  ayat (1) huruf g yang berbunyi:

Pasal 7

  1. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
  1. menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
  2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
  3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
  4. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
  5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
  6. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
  7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
  8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
  9. mengadakan penghentian penyidikan;
  10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
  1. Bahwa faktanya TERMOHON tidak melakukan pemanggilan terhadap PARA PEMOHON untuk didengar keterangannya sebagai saksi dalam tingkat penyidikan, sehingga TERMOHON telah mengabaikan kewajibannya dalam hukum untuk memanggil orang/ PARA PEMOHON sebagai saksi terlebih dahulu;
  2. Bahwa TERMOHON dalam melakukan pemanggilan terhadap PARA PEMOHON sebagai saksi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada pasal 112 ayat (1) yang berbunyi:

 

Pasal 112

  1. Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.

Penjelasan :

Ayat (1)

Pemanggilan tersebut harus dilakukan dengan surat panggilan yang sah, artinya, surat panggilan yang ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang.

  1. Bahwa pemanggilan terhadap saksi dilakukan secara tertulis ini dipertegas dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana pada pasal 17 ayat (1) dan ayat (2_yang berbunyi:

 

Pasal 17

  1. Pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a, dilakukan secara tertulis dengan menerbitkan surat panggilan atas dasar Laporan Polisi dan Surat Perintah Penyidikan.
  2. Pemanggilan terhadap Tersangka/Saksi/Ahli dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan undangan.
  1. Bahwa Faktanya PARA PEMOHON tidak pernah menerima surat panggilan yang sah sebagai saksi untuk didengar keterangannya pada tingkat penyidikan dari TERMOHON;
  2. Bahwa TERMOHON yang tidak mendengar keterangan PARA PEMOHON sebagai saksi pada tingkat penyidikan mengakibatkan tidak terpenuhinya asas  kepastian hukum yang adil, dikarenakan TERMOHON selaku penyidik hanya mendengar keterangan sepihak dari saksi sebagai pelapor dan tidak mendengar keterangan dari PARA PEMOHON sebagai saksi terlapor.
  3. Bahwa TERMOHON yang mengabaikan kewajiban untuk memeriksa PARA PEMOHON sebagai saksi telah melanggar  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada pasal 7  ayat (1) huruf g sehingga penetapan tersangka yang dilakukan oleh TERMOHON terhadap PARA PEMOHON tidak sah dan batal demi hukum;

 

  1. TERMOHON MELANGGAR PROSEDUR HUKUM SEHINGGA PENETAPAN TERSANGKA TERHADAP PARA PEMOHON ADALAH TIDAK SAH DAN BATAL DEMI HUKUM.
  1. Bahwa sesuai dengan perkara  putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 21/PUU-XII/2014, menyebutkan agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex cerrta dan asas lex stricta dalam hukum pidana maka frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 angka 14, pasal 17, dan pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dnegan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia);
  2. Bahwa pertimbangan Mahkamah yang menyertakan pemeriksaan calon tersangka di samping minimum dua alat bukti tersebut di atas, adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik. Dengan demikian, berdasarkan alasan tersebut diatas, seseorang penyidik di dalam menentukan bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari dari adanya tindakan sewenang-wenang, terlebih lagi di dalam menentukan bukti permulaan yang cukup selalu dipergunakan untuk pintu masuk bagi seorang penyidik  di dalam menetapkan sesorang menjadi tersangka;
  3. Bahwa berdasarkan pendapat Guru Besar Hukum Pidana Indonesia, Eddy OS Hiariej dalam bukunya yang berjudul Teori dan Hukum Pembuktian, untuk menetapkan seseorang menjadi Tersangka, Termohon harus melakukannya berdasarkan bukti permulaan yang cukup, Eddy OS Hiariej kemudian menjelaskan bahwa alat bukti yang dimaksudkan disini adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, lebih lanjut  Eddy OS Hiariej berpendapat bahwa kata-kata bukti permulaan yang dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal dengan istilah physical avidence atau real evidence dan untuk menakar bukti permulaan, tidaklah dapat terlepas dari pasal yang disangkakan kepada Tersangka;
  4. Bahwa tindakan TERMOHON yang menetapkan PARA PEMOHON sebagai tersangka berdasarkan dua alat bukti yang sah dalam Pasal 184 KUHAP tanpa disertai dengan pemeriksaan PARA PEMOHON sebagai saksi adalah TIDAK SESEUAI PROSEDUR yang melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada pasal 1 angka 14 yang diperkuat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014;
  5. Bahwa TERMOHON yang menetapkan tersangka berdasarkan dua alat bukti yang sah dalam Pasal 184 KUHAP tanpa disertai dengan pemeriksaan PARA PEMOHON sebagai saksi adalah TIDAK SAH DAN BATAL DEMI HUKUM.
  6. Bahwa TERMOHON yang tidak memanggil dan tidak mendengar keterangan PARA PEMOHON sebagai saksi terlapor, akan tetapi memanggil dan memeriksa saksi pelapor dalam tingkat penyidikan adalah tidak adil dan memberikan perlakuan yang berbeda dihadapan hukum. Tindakan TERMOHON yang tidak memanggil PARA PEMOHON sebagai saksi telah melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 3 ayat (2) yang berbunyi

-------------------------- dst. 

Pihak Dipublikasikan Ya